Sistem penyelenggaraan makanan institusi dapat didefinisikan sebagai institusi yang menyediakan
makanan bagi konsumen dengan jumlah minimal 50 porsi setiap produksi. Penyelenggaraan makanan
institusi dapat mengarah pada sektor komersil dan non komersil. Pada sektor komersil umumnya institusi
penyelenggaraan makanan bertujuan mencari profit, seperti contohnya kafetaria, café, restaurant, hotel, dan
penyelenggaraan makanan pada moda transportasi seperti pesawat dan kereta api. Sedangkan, contoh
penyelenggaraan makanan di sektor non komersil umumnya menyelenggarakan makanan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen kelompok khusus misalnya pada rumah sakit, panti wreda, panti asuhan, lapas, sekolah
militer, dan full day school (Bakri dkk., 2018).
Dalam sistem penyelenggaraan makanan, terdapat beberapa tahapan mulai dari penyediaan bahan
makanan, persiapan, pengolahan, hingga siap dihidangkan ke konsumen. Aspek-aspek hygiene sanitasi
menjadi sangat penting dalam tahapan-tahapan tersebut demi memastikan makanan yang tersaji aman, sehat,
dan memenuhi standar-standar kepuasan konsumen. Namun, pernahkah kita tergelitik untuk mengetahui
kontribusi makanan yang kita produksi atau kita konsumsi terhadap lingkungan?
Jika kita kaji dari sisi pemilihan bahan makanan, kelompok bahan makanan sumber protein hewani
khususnya daging sapi memiliki jejak karbon sebesar 10-14 kg CO2 pada setiap 1 kg daging yang diproduksi
dimana nilainya 33x lebih besar dibandingkan jejak karbon dari 1 kg sayur, buah, dan sumber protein nabati
yang hanya berkisar antara 0,3-0,6 kg CO2 (Mogensen et al., 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagai
konsumen maupun produsen kita perlu bijak dalam memilih bahan makanan. Makan beragam dengan
memadukan lauk hewani dan nabati serta memperbanyak sumber serat seperti sayur dan buah terutama yang
berasal dari produk lokal, selain dapat membantu mengoptimalkan kesehatan juga dapat menekan jejak
karbon yang ditimbulkan.
Menilik pada proses pengolahan bahan makanan, proses pemasakan yang lama dapat menimbulkan
jejak karbon yang lebih banyak yang berasal dari pembakaran bahan bakar. Sebuah survey di Inggris
menunjukkan bahwa proses pemasakan berkontribusi pada 6-61% emisi gas CO2 (Frankowska et al., 2020).
Selain itu, proses pemasakan yang lama dapat menimbulkan penyusutan nilai kandungan zat gizi pada
makanan terutama pada bahan makanan yang mengandung vitamin dan mineral yang tidak tahan terhadap
pemanasan. Untuk itu, yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak lingkungan dari proses
pengolahan makanan adalah dengan memilih alternatif teknik pengolahan makanan yang lebih sederhana dan
tidak memerlukan waktu lama, misalnya ketika merebus bahan makanan tertentu uapnya dapat pula
dimanfaatkan untuk mengukus bahan makanan lain. Contoh lain yaitu mengganti metode pemasakan deep
fry dengan shallow fry atau menumis. Metode lain untuk mengifisiensikan energi dan mengurangi emisi CO2
yaitu dengan memilih metode pengolahan makanan yang membutuhkan waktu <60 menit (Frankowska et al.,
2020).
Pembahasan tentang keterkaitan sistem penyelenggaraan makanan institusi dengan dampak lingkungan
yang dihasilkan, disampaikan pada Webinar “Institutional Food Service Management” yang
diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa “Foodnatic” Universiti Putra Malaysia pada 16 Januari 2024.
Pada webinar tersebut, dosen Departemen Gizi Kesehatan R. Dwi Budiningsari, Ph.D dan Marina
Hardiyanti, S.Gz., M.Sc menyampaikan materi dengan topik “Institutional Food Service Case Studies” dan
“Sustainability in Institutional Food Service”. Materi pada webinar ini adalah salah satu upaya Departemen
Gizi Kesehatan FK-KMK UGM dalam kontribusi meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
program Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) khususnya nomor 12 yaitu
konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
-Marina-