oleh : Lily Arsanti Lestari
Dewasa ini, orang sangat memilih makanan yang akan dikonsumsinya. Makanan tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer yaitu rasa lapar dan pemenuhan zat-zat gizi bagi tubuh, tetapi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder yaitu cita rasa yang baik, serta kebutuhan tersier yaitu memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh seperti hipokolesterol, anti hipertensi, pencegah diare, dan sebagainya. Makanan yang mempunyai fungsi fisiologis ini dikenal dengan makanan fungsional. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan, makanan fungsional didefinisikan sebagai makanan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi
fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat
diterima oleh konsumen. Selain itu, makanan fungsional tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya (BPOM, 2001).
Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam makanan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar yang terkandung dalam makanan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat pangan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu (BPOM, 2001).
Diare akut merupakan penyebab utama kematian bayi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Suraatmaja, 2002 dan Irwanto et al., 2002). Di Indonesia diare masih menjadi masalah kesehatan dan penyakit ini dapat terjadi pada semua golongan usia. Angka kesakitan penyakit diare di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 12/1000 atau 12 orang per 1000 penduduk, sedangkan angka kematiannya menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 sebesar 23,7 per 100.000 penduduk (Djaja et al.., 2003). Salah satu penyebab diare yaitu infeksi bakteri patogen di saluran cerna. Beberapa bakteri patogen penyebab diare antara lain Escherichia coli, Shigella sp., Salmonella sp., dan Helicobacter pylori.
Makanan fermentasi tradisional kita banyak yang berpotensi mengandung probiotik. Beberapa bakteri asam laktat yang berpotensi sebagai probiotik telah diisolasi dari makanan fermentasi tradisional seperti gatot dan growol (ketela yang difermentasi berasal dari Yogyakarta), dadih (susu kerbau yang difermentasi berasal dari Sumatera Barat), dali (susu kerbau yang difermentasi berasal dari Sumatera Utara), tempoyak (durian yang difermentasi dari Kalimantan), asinan sawi, dsbnya.
Penelitian mengenai potensi bakteri probiotik yang diisolasi dari sumber lokal (probiotik indigenous) di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri asam laktat dari gatot (Lactobacillus plantarum Mut7 dan Lactobacillus sake Mut13), growol (Lactobacillus casei subsp. rhamnosus TGR2), tape singkong (Lactobacillus plantarum), tempoyak (Lactobacillus fermentum), asinan rebung (Lactobacillus acidophilus), tempe (Lactobacillus casei subsp. rhamnosus TTE1) mampu bertahan pada suasana asam di saluran cerna, tahan dalam konsentrasi garam empedu, tetapi yang memiliki potensi aktivitas antimikrobia hanya Lactobacillus casei subsp. rhamnosus TGR2 yang diisolasi dari growol (Rahayu et al., 1996).
Penelitian mengenai kemampuan probiotik lokal dalam mencegah diare yang disebabkan oleh bakteri patogen telah dilakukan baik secara in vitro dan in vivo. Pada penelitian in vitro, beberapa bakteri asam laktat yang diisolasi dari gatot dan dadih yaitu Lactobacillus plantarum Mut7, Lactobacillus sake Mut13, Lactobacillus sp Dad 13 dan Lactobacillus sp. Dad11 mampu menghambat beberapa bakteri patogen seperti Salmonella typhi, Staphylococcus aureus dan E. coli (Sumaryati, 2006). Selain itu, Lactobacillus plantarum Mut7, Lactobacillus sake Mut13, dan Lactobacillus sp Dad 13 juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab diare Salmonella choleraesius dan Shigella flexneri (Lestari, 2008).
Pada penelitian epidemiologi yang melibatkan sekitar 472 anak berusia 1-5 tahun di Kabupaten Kulonprogo menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi growol dengan angka kejadian diare.
Semakin tinggi frekuensi konsumsi growol, semakin kecil kemungkinan terkena diare. Untuk dapat mencegah kejadian diare, frekuensi konsumsi growol sebaiknya minimal 6,4 kali/minggu atau rutin setiap hari dikonsumsi. Responden yang tidak mengkonsumsi growol mempunyai kemungkinan menderita diare sebesar 47,4% dibandingkan responden yang mengkonsumsi growol.
Growol merupakan makanan fermentasi tradisional yang terbuat dari ketela dan mempunyai rasa asam. Jenis makanan ini hanya dibuat di daerah Yogyakarta khususnya Kulon Progo dan daerah sekitarnya. Proses pembuatan growol berlangsung selama 4 hari yaitu dengan cara merendam ketela yang telah dikupas dan diiris kecil-kecil di dalam air selama 4 hari dengan suhu perendaman 26ºC ± 2ºC, kemudian ditiriskan dan dihancurkan sebelum akhirnya dikukus. Selama perendaman ini terjadi fermentasi alami, berbagai jenis mikrobia yang tumbuh pada awal fermentasi adalah Coryneform, Streptococcus,Bacillus, Actinobacter, yang selanjutnya diikuti oleh Lactobacillus dan yeast sampai akhir fermentasi. Selama proses fermentasi, bakteri asam laktat yang paling dominan tumbuh, bakteri tersebut bersifat anaerob, amilolitik dan fermentatif. Jumlah bakteri asam laktat pada growol tiap gramnya sebesar 1,64 x 108 (Suharni,1984).
Jenis probiotik yang terdapat pada growol adalah Lactobacillus casei subsp. rhamnosus TGR-2 merupakan bakteri yang memiliki aktivitas anti mikrobia, mampu menghambat pertumbuhan Staphyloccoccus aureus FNCC 0047, E. coli FNCC 0091, ,i>Morganella morganii FNCC 0122, Salmonella typhimurium FNCC 0050, dan Bacillus cereus FNCC 0057. Selain itu juga metabolit ekstraseluler Lactobacillus casei subsp. rhamnosus tetap stabil pada suhu kamar, pada pemanasan 98ºC tahan selama 30 menit, pH 3 – 8; pada pemanasan 121ºC selama 15 menit; dan pada suhu 4ºC selama 21 hari (Rahayu et al.,1995).
Pada penelitian terakhir membuktikan bahwa makanan lokal yang telah dikonsumsi secara turun temurun ternyata mempunyai efek fungsional dalam pencegahan diare. Namun demikian, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengungkap bagaimana mekanismenya. Apakah efek anti diare tersebut disebabkan oleh aktivitas sel probiotik melawan sel bakteri patogen ataukah oleh metabolit sekunder seperti bakteriosin, hidrogen peroksida dan asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian pada jenis makanan fermentasi tradisional yang lain juga perlu dilakukan agar bukti-bukti ilmiah yang diperoleh dari penelitian ini dapat mendukung pengembangan makanan fermentasi tradisional yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia.